Kamis, 12 Agustus 2010

PUISI MODERN

PUISI MODERN MINANGKABAU
(adakah?)


Penulisan puisi di Indonesia dewasa ini telah demikian jauh membawa perobahan. Penyair tidak lagi dikungkung oleh bait, baris, pengulangan bunyi, dsb. Olahan puisi modern Indonesia sudah demikian bebas sehingga terkadang hampir mirip dengan proza, yang hanya dibatas oleh alinea-alinea, namun memiliki kalimat-kalimat dan genre yang puitis. Inilah salah satu kebebasan sastrawan modern dalam berekspresi.


Pada mulanya memang semuanya itu muncul sebagai sebuah eksperimen, sehingga puisi-puisi ini dikategorikan sebagai “Puisi Eksperimental”, hingga pada suatu saat kemudian telah menemukan bentuknya sendiri yang kongkrit hingga sudah tiba pula waktunya untuk mempunyai “code” tersendiri.


Namun penulisan puisi dari Sastra Minangkabau sepertinya tidak banyak mengalami perobahan dari masa-kemasa. Malahan dapat dikatakan bahwa dewasa ini hampir tidak ada penyair yang menulis puisi-puisinya –dengan konotasi modern- dalam bahasa Minangkabau. Kalaupun ada, maka semua itu mereka lakukan hanya sekedar untuk mengisi syair dari sebuah lagu Minang saja. Itupun tak beranjak dari bentuk puisi klasik (pantun, syair, gurindam). Mungkin hanya “tema”nya saja yang berbeda.


Bagaimanapun hal ini patut dijadikan perhatian, karena dalam suatu budaya yang dinamis, akan selalu muncul berbagai bentuk perobahan. Ketiadaan perobahan dalam penulisan puisi Minangkabau ini, seakan memperlihatkan bahwa budaya Minangkabau adalah budaya yang statis (dibidang sastra puisi). Padahal disetiap generasi para penyair di Indonesia ini, senantiasa didominasi oleh para penyair yang berasal dari Minangkabau.


Perkembangan Sastra Indonesia

Jika ditilik secara umum Sastra Indonesia, sudah menjadi mata pelajaran pokok semenjak di sekolah menengah dulu, bahwa dunia sastra Indonesia berkembang dari periode ke periode.

­ Periode sastra Kuno

­ Periode Balai Pustaka

­ Periode Pujangga Baru

­ Periode Angkatan ‘45

­ Periode Modernisasi


Pada masing-masing periode terdapat spesifikasi sendiri-sendiri, yang dipengaruhi oleh situasi, kondisi, dan kultur masarakat waktu itu. Dengan demikian akan terlihat nyata, bahwa tulisan-tulisan sastra merupakan cerminan dari budaya manusia pada suatu kurun waktu (akan dibahas tersendiri hubungan pengaruh mempengaruhi ini, antara sastra dengan kultur). Yang pasti, disetiap periode selalu ada orang-orang yang menjadi pelopor, dan kemudian mengsosialisasikannya ditengah masarakat.


Perkembangan Sastra Minangkabau

Merujuk kepada perkembangan sastra di Indonesia, maka sastra Minangkabau sepertinya tidak banyak terpengaruh oleh perkembangan sastra nasional ini. Sastra Minangkabau tidak mengenal periodisasi itu, dan hanya dapat dibedakan atas:

­ Sastra kuno (klasik)

­ Sastra Modern (yang belum mapan).


Disini kita dapat melihat bahwa selama Periode Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan ’45, sastra Minang seakan tidak bergerak, seolah tertidur sama sekali. Padahal mayoritas pelopor dari setiap angkatan itu adalah orang-orang yang berasal dari Minangkabau. Kemungkinan waktu itu mereka tidak berkiprah dalam sastra Minang, adalah karena adanya keinginan untuk ‘bergerak’ dalam komunitas yang lebih luas, ditingkat nasional (atau pertimbangan komersial?).


Perkembangan sastra Minangkabau klasik, hampir sama dengan daerah-daerah lainnya. Bentuk yang umum ternukil disini antara lain adalah:

­ Mantra-mantra (puisi).

­ Dendang (puisi).

­ Cerita-cerita, legenda, atau dongeng (proza).

­ Kaba (proza yang terkadang dicampur dengan puisi)

­ Pasambahan (Pidato Adat t/d proza dan puisi)


Puisi Minangkabau Klasik

Pada sastra lama yang dapat dikategorikan sebagai Puisi, adalah Mantra dan Dendang, walaupun pada Pasambahan sebenarnya juga didominasi oleh bentuk-bentuk puisi yang dikombinasi dengan narasi yang bukan puisi. Berbagai bentuk itu semuanya tampil sebagai “sastra lisan” (oral) yang disebar luaskan hanya sebagai narasi yang tidak tertulis.


Ditilik dari bentuk-nya, puisi Minangkabau klasik lebih mengacu kepada bentuk: pantun, syair, gurindam, talibun, dll yang hampir kesemuanya itu dapat didendangkan. Malahan dalam melantunkan “kaba” (prosa)pun dilakukan dengan “berdendang”, sehingga sering pula disebut sebagai Prosa Berirama.


Dalam implementasi “dendang” ini, telah pula tampil berbagai bentuk ritual seperti Bagurau (nyanyi yang diiringi saluang), Salawat Dulang, Dendang Pauah, Rabab Pasisie, Randai, Kaba, dll. Sedangkan dalam ritual ‘mantra’ dilakukan salah satunya yang dikenal dengan Bailau, yaitu mantra yang didendangkan untuk menangkap harimau dsb.


Puisi Minangkabau Modern

Pada Sastra Modern Minangkabau, bentuk puisi ini dikatakan tidak banyak berobah, karena masih tetap mengacu kepada bentuk-bentuk lama: pantun dan syair, yang didendangkan. Sedangkan implementasinya umumnya ditampilkan dalam bentuk lagu Minang Modern.


Dalam lagu Minang Modern inilah puisi-puisi itu dinyanyikan dengan iringan musik yang modern pula. Pertanyaannya: apakah syair lagu Minang Modern ini sudah dapat pula dikategorikan sebagai Puisi Minang Modern?


Tercatat nama ORKES GUMARANG (akhir tahun 1950-an) yang merintis menyanyikan puisi-puisi Minang ini dengan iringan musik modern pula.


Irama musik Orkes Gumarang ini lebih mendekati kepada komposisi irama Latin (sering disebut sebagai beat Melayu-Latin oleh para musisi). Dalam dekade inilah lagu-lagu Minang sangat dikenal hampir diseluruh pelosok tanah air. Dalam perkembangannya kemudian, sudah banyak pula yang tampil dalam bentuk irama lain seperti Pop, Keroncong, Dangdut (beat Melayu-India), Rep, Rock, dsb.


Sedangkan bentuk yang tampil murni sebagai sebuah puisi modern (seperti yang dipelopori Chairil Anwar dalam puisi modern Indonesia), tidak pernah ditemukan, sehingga hampir tidak ada pula bentuk modernisasi puisi Minang yang dapat dibicarakan. Yang ada hanyalah perobahan dari bentuk lisan menjadi bentuk tulisan, dan rekaman kaset, CD dan VCD, yang hampir semuanya dalam versi dendang. Namun bentuk dari puisi/ syair nya sendiri masih mengacu kepada bentuk klasik, seperti halnya Bagurau, Dendang Pauah, Rabab Pasisie, dll.


Sebelum munculnya Orkes Gumarang, pada zaman penjajahan Belanda sebetulnya sudah hadir ORKES GAMAD (=gamaik) di Padang Kota dan sekitarnya. Orkes Gamad ini menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Minang dan lebih bernuansa Beat Melayu-Deli. Juga terasa adanya pengaruh Eropah(?) disana sini. Pengaruh ini terlihat dari adanya seruan-seruan (diantara nyanyian) seperti: Balanse madaaaam, .............Orkes ini sudah menggunakan alat musik modern seperti accordeon, biola, gitar, string bass, dan gendang.


Keberadaan Orkes gamad ini masih dapat dinikmati sampai awal tahun 70-an, dimana pada syair lagu-lagu Gamad umumnya berbentuk Pantun, Syair lama, dan Gurindam klasik. Namun karena Gamad sudah menggunakan peralatan musik modern, maka lagu-lagunyapun ada yang mengkategorikan sebagai lagu Minang Modern pula. Hanya saja GAMAD tampaknya lebih mengutamakan seni musik dari pada seni sastra, sehingga syair-syair dari lagu gamad ini banyak yang bercampur aduk antara bahasa Minang dan bahasa Melayu, sehingga kurang tepat jika dikategorikan sebagai Puisi Minangkabau.


Selanjutnya setelah tahun 70-an sudah banyak penyair yang hadir sebagai penulis syair lagu Minang Modern, namun masih belum tampak disini hadirnya PUISI MODERN yang murni untuk dibaca dan dinikmati sebagai puisi itu sendiri.


Penyair Minang Dan Keterbatasan (?)

Yang dimaksudkan disini sebagai Penyair Minang, adalah para penyair yang menelorkan syair (puisi-puisi) dalam bahasa Minangkabau. Ternyata yang muncul hanyalah penyair yang menggubah syair menjadi sebuah lagu, dan tidak tampil sebagai penyair yang murni menggubah sebuah puisi Minang Modern.


Menurut pendapat para ahli (salah satunya Suryadi, alumnus Jurusan Sastra Daerah, Program Studi Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra Universitas Andalas, dosen dan peneliti pada Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden University, Belanda), mengatakan bahwa pada sastra modern paling tidak ada dua unsur: genre-genre yang digunakan genre-genre modern, baru; isu-isu atau tema yang digarap juga baru, yang merefleksikan fenomena sosial masa kini (kekinian).


Hal ini sebetulnya sudah terdapat pada syair-syair lagu Minang Modern, akan tetapi “bentuk sebagai puisi modern” masih belum muncul. Syair-syair ini masih dikekang oleh pengulangan kata, jumlah baris dalam satu bait, dsb. Sedangkan dalam puisi modern seharusnya sudah ada bentuk dan penampilan baru seperti yang terlihat misalnya dalam puisi-puisi Chairil Anwar, Sutarji, dsb.


Kalau nama-nama penyair Indonesia yang berasal dari daerah Minangkabau, kita akan mengenal banyak sekali. Semenjak dari Rustam Effendi di Pujangga Baru, Chairil Anwar yang pelopor angkatan ’45, hingga Taufiq Ismail, Hammid Djabar, Rusli Marzuki Saria, dsb pada periode Sastra Modern Indonesia. Tetapi kita tidak menemukan publikasi puisi mereka yang ditulis dalam bahasa Minang.


Dari percakapan maupun wawancara dengan para penyair, umumnya mereka mengatakan merasa terpasung apabila akan menulis syair (puisi) dalam bahasa Minangkabau ini. Mereka merasakan bahwa kosa kata Minang amat terbatas untuk mengekspresikan suatu imajinasinya dalam bentuk puisi.


Sebetulnya hal ini adalah sesuatu yang pula pernah dirasakan oleh Chairil Anwar ketika awal hendak berekspresi dalam bentuk puisi modern Indonesia. Chairil kemudian justru memulainya dengan menyadur beberapa puisi asing, seperti yang dilakukannya pada puisi ANTARA KERAWANG-BEKASI yang terkenal itu. Puisi ini disadur dari judul asli YOUNG DEAD SOLDIER karya Archibalt, atau RUMAHKOE dari WONINGLOOZE karya Slauerhoff, maupun ORANG BERDOEA dari DE GEISCHEIDENEN dari Marsman. Bukan hanya menyadur, Chairil juga memnterjemah dari puisi asing seperti SOME WHERE dengan judul yang sama dari E Du Perron, PPC dengan judul sama dari E Du Perron juga, serta MUSIM GOEGOER dari HERBSTTAG karya R.M Rilke.


Namun kemudian Chairil menemukan bentuknya sendiri, sehingga menelorkan puluhan dan bahkan mungkin ratusan puisi (baik yang sempat diekspose maupun yang tersimpan sebagai dokumen pribadi), yang kesemuanya sudah berbahasa Indonesia (lihat: Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 oleh: HB Yassin). Kesulitan bahasa yang pada awal dirasakan itu, kemudian teratasi setelah terbiasa menulis puisi dalam bahasa Indonesia itu sendiri.


Mungkin hal yang sama lah yang dirasakan oleh para penyair Minang, namun tidak banyak yang mencoba mengatasinya dengan mencoba dan mencoba lagi menulis dalam bahasa Minangkabau ini. Umumnya mereka berhenti bereksperimen, setelah gagal dalam beberapa percobaan.


Kekuatan Bahasa Minangkabau

Jika diamati dengan seksama tentang kosa kata bahasa Minangkabau, kita akan menemukan demikian banyak kosa kata yang amat puitis, terutama dari bahasa-bahasa yang sudah kuno dan sudah jarang terdengar ‘dibahasakan’ dewasa ini. Misalnya kata-kata: birauari, lingguyuran, labuah nan golong, sawah nan jo lantaknyo, alue nan patuik, gadiang baliriak, barih balabek, tabang mangirok, panjang nan bakaratan, puncak linggapuri, jariah nan tasengga, tingaran jaleh,........... dlsb. Nama-nama daerahpun di Minangkabau banyak yang sangat puitis, seperti nama nagari: Mandi Angin, Ambun Pagi, Ulak Karang, Tanjuang Bungo, Lubuak Aluang, Sari Lamak, Lambah Ba(a)wan, Cubadaklilin, Pintu Rayo, dsb.


Apalagi jika disimak kata-kata yang disampaikan dalam pasambahan, banyak sekali kata-kata puitis, namun sudah dilupakan orang dewasa ini, karena kosa kata itu sudah jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Hanya para pemangku adatlah yang masih banyak mengenal dan mengetahui berbagai kosa kata kuno itu. Sayang mereka bukanlah “penyair” yang mampu mengeksploitasi berbagai kata itu, sehingga akirnya tidak banyak lagi orang yang masih mengenalnya, sedangkan para pemangku adat seakan terikat dan tidak berani untuk berimprovisasi. Mereka secara turun temurun hanya akan menghapalkan kata-kata pasambahan yang pernah mereka pelajari.


Dalam menulis puisi berbahasa Minang, maka mau tidak mau selain dari kosa kata, kita akan sangat dipengaruhi pula oleh kultur dan budaya Minangkabau yang jarang mau berkata dengan terus terang. Umumnya “perasaan” akan disampaikan dalam bentuk kias atau perumpamaan (metafora) yang diungkap sebagai: kok kato baumpamo, kok rundiang bamisalan. Malahan ada rasa sungkan untuk menulis nama sendiri sebagai penulis atau pencipta.


Barangkali disinilah terlihatnya keterbatasan dan kurang bebasnya seorang penyair dalam berekspresi. Namun barangkali pula justru disinilah akan dapat ditemukan kekuatan dan suatu bentuk yang “khas” dalam sebuah puisi Minang Modern itu.


Dalam salah satu tulisannya “Buya AMA” (tanggapan terhadap tulisan Suryadi: SEDIKIT TENTANG ESTETIKA PANTUN MINANG di RantauNet-Maret 2009) menyatakan sbb:

"Suatu hal sangat menarik adalah bahawa di dalam estetika Pantun Minangkabau yang adalah hasil kesusastraan Minangkabau lama itu bersifat anonim. Malu dan merasa keberatan untuk disebut nama penciptanya. Karena itu dalam pidato adat selalu dikatakan "bak pituah urang tuo-tuo, bak pantun urang dahulu" (bagai petuah orang tua-tua, bagai pantun orang dahulu), dan sebagainya.


Dengan kosa kata yang di pengaruhi oleh kultur dan budaya ini, justru “harus dapat” dimunculkan suatu bentuk khas, yang mengacu sebagai proses modernisasi. Hal ini hanya akan dapat ditemukan apabila para penyair mencoba dan mencoba lagi sebagai suatu eksperimen yang berkelanjutan. Perlu berbagai diskusi untuk dapat merealisasikan nya, serta adanya faktor idealisme diatas faktor komersial nya. Bagaimanapun budaya sastra terutama dalam bentuk puisi adalah suatu budaya sastra yang dinamis.


-oOo-

HADIRNYA PUISI MINANG MODERN

Akhirnya muncul juga penulis dan penyair yang mau berkarya dalam bahasa ibunya..... Bahasa Minangkabau. Terlihat disini dimulai dengan adanya upaya “penyaduran” dari puisi Rhian D’Kincai yang unggul dalam estetika kata-kata, kemudian disadur kedalam bahasa Minang yang penuh dengan metafora, oleh Andres.

“Metafora” merupakan ciri khas dari Sastra Minangkabau lama, dimana etnis ini telah terbiasa dengan motto: kok kato baumpamo, kok rundiang bakiasan. Ciri ini terlihat kental dalam saduran yang dilakukan oleh Andres, sehingga muncul pula pertanyaan: Apakah ciri ini akan tetap dipertahankan dalam puisi Minang Modern?.

Seperti biasa berbagai pendapat yang berbeda pastilah akan bermunculan, ada yang setuju dan ada yang tidak. Setiap pendapat pasti memiliki argumen pula untuk saling memperkuat pendapatnya.

Berbagai teori tentang “seni sastra dan budaya” diharapkan akan lebih marak dalam diskusi, untuk semakin memperkaya Khasanah Sastra Minangkabau Modern ini. Bagaimanapun, ini diharapkan dapat dijadikan semacam tonggak sejarah dari kehadiran Puisi Minangkabau Modern dalam kerangka besar Sastra Indonesia.

Dalam sebuah tulisan di blog nya, Suryadi, seorang sarjana Budaya Minangkabau yang sedang memperdalam ilmu di Leiden University, mengatakan bahwa “SASTRA MINANG MODERN ANTARA ADA DAN TIADA”...... Sebuah tantangan buat para sastrawan Minangkabau.

Walaupun dimulai dengan bentuk saduran, namun ini telah memperlihatkan adanya suatu pergerakan dari posisi status quo atas pantun dan syair, kearah bentuk Puisi Modern yang “kontemporer”. Penyair-penyair muda Minangkabau diharapkan akan dapat mengembangkannya lebih lanjut sesuai dengan perjalanan zaman yang senantiasa berobah.

Mungkin ada yang berpikir bahwa ruang lingkup untuk “hanya” berbahasa daerah ini terlalu sempit dan amat terbatas, tetapi sesungguhnya tidaklah demikian jika dipandang dari aspek sastra secara keseluruhan. Adanya bentuk sastra etnis yang berkembang, justru memperlihatkan adanya suatu dinamisasi dari budaya etnis yang bersangkutan dalam membentuk kultur nasional kita, seperti yang ditulis oleh Prof Soetandyo bahwa Budaya lokal adalah pilar bagi tegaknya budaya nasional. Etnonasionalisme adalah tonggak penopang tegaknya supranasionalisme.

Hal seperti ini sebetulnya sudah lama ditampilkan dikalangan etnis lain, seperti yang dirintis oleh Ajip Rosidi dalam sastra Sunda, yang sekarang telah memiliki “Rancage Award” untuk yang berprestasi. Sedangkan untuk Sastra Modern Minangkabau, baru dimulai dengan harapan semoga para penulis dan penyair muda, akan lebih banyak berkarya dan memperluas ruang lingkup sastra bahasa ibu ini........ Bahasa Minangkabau.* * *


BEBERAPA SADURAN PUISI RHIAN D’KINCAI oleh ANDRES

ASLI: (rhian d’kincai)

LENYAI
(surat rindu buat amak)

Haruskah kukutuk diri ini sebagai Malin Kundang, saat tak terlangkahkan kaki menjelang tanah kelahiran, dimana 'amak' bersimbah airmata, meratapi si manja yang larek di perantauan sebalik bukit, sementara nisan tak bernama di pusara 'abak' di ladang saudaraku, hilang ditelan belukar nan merimba.

Sekalipun kerinduan buat malam enggan pejamkan mata, ada darah putih yang mengalir dari luka yang kau torehkan 'uda', terlalu berat rasanya buat kupikul, ketika kau ucapkan kata: adikku telah lena dalam pelukannya, disaat kaki ini baru melangkah mencari selarik kata yang kau sebut 'bana'.

Ingin rasanya berbaring bersama 'abak' di pusaranya, ketika amak berkata pada dagang lalu: si manjaku telah tiada, seandainya masih ada, nama yang kupahatkan di keningnya dengan dukana, meski tak sempat dibawa bakonyo turun mandi, tak lagi melekat pada dirinya.

Tapi aku dicambuk sebaris kata yang ditorehkan di mentagiku; ingat ! kau terlahir sebagai lelaki, dari bansaik kau bawa pulang, lebih baik larek di tengah samudera; kata abak sebelum ajal menjemputnya.
Ada perih yang mengalir dari sesak nafas memburu angin nan menjanjikan bianglala, ketika si bungsu menagih janji yang terucap dari sebuah kesombongan anak Sutan Batuah, yang kini dijerat dukana, tak lagi tangis yang terurai karena janji tak tertunaikan, sukma resah hati berdarah.

Sumpahilah aku amak, agar membantu di anganmu, asal jangan membatu di hatimu, sisihkan jua sekeping do'a buat si manja di balik khusuk, biar dunia bermurah hati membawaku bersujud di kakimu, dengan semiang emas tak bernoda .

*******************************

SADURAN: (Andres)
L E N Y A I...........

Ka den kutuak juo badan diri bak Malin Kundang, katiko tak sampai manjalang kampuang, amak baurai jo aie mato,...... maratok-i ‘si manjo’ nan larek dirantau, ranah nan hanyo disubaliak bukik....... mejan tak banamo dipusaro abak, lah hilang dipalun rumpuik saruik.

Lalok nan indak babuah rasian, mato nan nyalang mangaja subuah....mailie candonyo darah putiah, dari luko nan ‘uda’ turiahkan, taraso barek baban dikuduak, katiko uda maangga kato: adiak den lah laruik nan dikandok-an, katiko kaki baru marancah, mancari kato nan takato:’bana’......

Raso nak tatilantang jo abak di pusaro nyo,....... katiko amak manyapo ‘rang lalu: si manjo nan kini alah tak ado, namo nan ta paek dikaniangnyo, bialah tak dibao turun mandi dek bakonyo,....... lah lucuik abih dibadannyo kini, ...........

Tapi den tagak dek kato mantagi, denai nan lahie laki-laki, dari pado bansaik dibao pulang, eloklah larek dilamun galombang,..... baitu pasan ayah kanduang, katiko nak pulang ka nan usali.

Padiah mandanyuik kaubun-ubun, dek dasau angok mamburu angin, nan manjanjikan sirah cewang ka langik,....... katiko si Bungsu maurak kato-kato, dari cindainyo anak Sutan Batuah, nan kini dijarek uweh-uweh..... abih lah tangih dek aie mato, katiko janji tak jadi nyato..... tungganai rasah, hati badarah.

Sumpahi malah denai ko mandeh........ nak jilah candonyo angan-angan, usah mambatu didalam hati,..... ateh khusuaknyo kulimah doa, bialah dunie nan ma enggakkan, mambao den sujuik kakaki mandeh,..... den ungguah juo ameh sa miang, nan janiah bak cando aie mato.
***********************


ASLI:Sajak: rhian d’kincai
REFORMIS, SUDAHLAH … KAMI SUDAH LELAH

reformis, sudahlah … kami sudah lelah …..
cukup hanya derita hidup nan ditanggungkan
jangan jadikan kami sasaran lemparan batu
atau bom molotov yang nyasar
dan porak porandakan harap nan tersisa

reformis, sudahlah … kami sudah lelah …..
apakah makna seruan Allahuakbar bagi mu
sementara kau teriakkan juga ungkapan tak bermoral
sembari merusak apa saja, lampiaskan kebinatanganmu
saat yang kau minta, meski belum tentu benar, didiamkan

reformis, sudahlah … kami sudah lelah …..
hentikan menebar racun kepada generasi penerus
yang seharusnya berkutat dengan diktat kuliah
agar kelak menjadi pewaris sah dan memimpin negeri ini
dengan ikhlas dan pengabdian n’tuk mengisi kemerdekaan

reformis, sudahlah … kami sudah lelah ….
biarkan kami istirah, saat tak tahu apa lagi kan diperbuat
selain pasrah dan tadahkan tangan, lafazkan do’a
berharap negeri tercinta jauh dari fitnah dan angkara
terhindar dari bencana dan khusuk memuji asma-Nya

padang 03041003010


SADURAN: Andres
REFORMIS, ALAH TU MAH.... KAMI LAH LATIAH

reformis,......
alah tu mah.... kami lah latiah
lah cukuik rasai nan ditangguangkan
usah dialuik juo kami jo batu
sarato bom molotov nan balatuihan
lah caie candonyo harok nan tingga

reformis,......
alah tu mah.... kami lah latiah
antahlah apo makna saru Allahu Akbar, nan dek kalian
kalian sorakkan pulo caruik jo bungkang
mamacah piriang suok jo kida,
kalian karuah aie nan janiah
...............sabana mambang tali awan

reformis,......
alah tu mah.... kami lah latiah
usahlah juo ma-uba tubo
bake rang mudo nan jolong gadang
nan mauliak ilemu jo sikola
nak jadi niniak-mamak nan usali
nan isuak mamimpin nagari nangko

reformis,......
alah tu mah.... kami lah latiah
palapeh kami maambiak angok
katiko ‘ndak tantu lai nan ka dikaca
maningadah tangan nan kalangik
mambaco doa ka Nan Kuaso
jauahkan malah nagari nangko
dari asuang jo pitanah
jauahkan pulo dari bancano
............khusuak mamuji Asma Allah.....

9-III-2010
*********************************



ASLI: sajak Rhiand’Kincai
SENANDUNG LARA PUCUK PINUS
Kemarin jam 2:56

Senandung lara pucuk pinus
menyelinap di sela gerimis dini hari
dingin mengiris nadi, menusuk sumsum
aku terdiam dalam gigil
menatap pilu reruntuhan bukit
di sepanjang kawasan sitinjau laut
nan rapuh diguncang gempa
dan kerakusan umat manusia

Senandung lara pucuk pinus
kian mendayu mengusik angan
malam bagai enggan berlalu
sementara rinai kian deras
menyiram bumi nan kian rapuh
dimakan usia dan kealpaan insan
menjaga dan melesarikan alam
berdalih demi hidup dan kehidupan

Senandung lara pucuk pinus
berkelana dalam diam
meningkahi ratap dan jeritan
korban keganasan murka alam
menuntut terketuknya nurani
pemimpin dan anak negeri ini
agar mengarifi peringatan Tuhan
dengan bijak dan kepedulian

lbs 02265014010
*********************************


SADURAN: Andres
SENANDUNG LARA PUCUK PINUS

apo kadayo nan panarahan, bungkuak lah samo dimakan saruang, runciang nan alah tibo mancucuak, dahan nan sakah lah mahimpok, ujuang jo pangka nan lah manganai.... ditangah gampo nan mahoyak bumi, hari nan alah diparampek, malam nan alah dipatigo, umue samakin ta ambala......... batanyo kabau ka padati, jauah koh lai parantian..........
3 Maret 2010
******************************

ULASAN

Dari ketiga “saduran” yang ditampilkan, terlihat bahwa untuk puisi “LENYAI” dan “REFORMIS ALAHTU MAH.... KAMI LAH LATIAH” tak lebih dari semacam terjemahan bebas. Bentuk saduran yang tepat baru terlihat pada puisi ketiga “SENANDUNG LARA PUCUK PINUS”.

Saduran yang dilakukan oleh Andres terlihat selalu dibawah pengaruh bentuk puisi lama Minangkabau, antara lain dengan penempatan suku kata dalam tiap paragraf. Bentuk inilah yang dalam puisi lama Minangkabau justru selalu ditonjolkan sehingga puisi lama itu selalu dapat dibaca sambil berdendang (didendangkan).

Namun demikian, jika tanpa penempatan jumlah suku kata tertentu, justru akan melemahkan “metafora” yang pula ditonjolkan oleh penulisnya. Metafora itu akan terasa “hambar”. Jumlah suku kata tertentu dalam sastra Minang, sudah merupakan suatu “ungkapan” yang tidak mungkin untuk dirobah. Kita dapat melihat contoh seperti dalam saduran SENANDUNG LARA PUCUK PINUS, akan terasa hambar apabila suku kata itu tidak tepat. Disamping itu, hal ini “sangat” memungkinkan untuk mendendangkan sebuah puisi modern Minangkabau ini bagaikan membaca “kaba” zaman dahulu.

Tak lain harapan-harapan kita, menunggu “sajak-sajak asli” yang ditulis dalam bahasa Minang untuk pada suatu saat dapat dibukukan demi memperkaya khasanah sastra Minangkabau ini. (andris syahroeddin, banten Mei 2010)

-oOo-

TETRALOGI POEM "TERSESAT DALAM ZAMAN"

TERSESAT DALAM ZAMAN (-1)

...............being qua being..............

argumen Plato dan Aristoteles

‘perhatikan yang ada sebagai yang ada’

filsafat yang kemudian bertumbuh dalam era Hellenistic


sebuah tanya dari Andronicus Rhodes:

‘...............ta meta.... ta physica...........’

‘apa yang ada dibalik yang ada’

terpakulah semua dalam mencari bukti demi bukti

dialog pun berlangsung hingga ratusan tahun


tersisihlah iman

disaat Religi pun telah ikut mencari bukti dalam abstrak

..........ta meta......... ta physica.......

bengkalai yang tiada pernah rampung


telah bergetar kepak sayap sang ilmu

dalam sains yang berlari

pada zona indrawi yang sempit

para cendekia pun bergulat dalam dalil dan axioma

mencari titik nol dan titik tak berhingga

yang tiada berdimensi


zarah atom ternyata komponen yang rumit

‘black hole’ yang berdesing diantariksa

terangkatlah fenomena alam semesta..........

dari teori Big-Bang.........

kelahiran dan awal dari segala kejadian


semakin dekatlah Ia...........

tetapi juga semakin menjauh


terperosok anak manusia kedalam relung yang curam

terperangkap kedalam kumparan labyrinth yang berliku

................tak tahu lagi jalan pulang


akankah ditemukan kembali zaman Le Muria yang damai?

atau zamannya Atlantis sang perusak?


kehidupan telah hadir dalam semu dan kenisbian

di kesombongan akal yang berkedok ‘Filsafat Ilmu’

telah tertinggal religi yang murni

dan metafisika yang tiada berwujud

sementara sains berlari semakin kencang

lenyaplah sudah keseimbangan...........


manusia-manusia hanya berharap

untuk bisa pulang ke Sorga............

rumah mereka yang pertama

konon disana hanya ada religi

sebagai filsafat yang murni dan abadi

* * *


TERSESAT DALAM ZAMAN (-2)

telah berlalu sejarah yang berkisah

tentang kerajaan, putri cantik, istana dan ksatria

tentang Julius Caesar yang berkelana

menundukkan dunia

dengan pedang, kuda dan onta

mencari cintanya Cleopatra


kitab suci pun berkisah

tentang para rasul, sorga dan neraka

serta malaekat yang turun dari langit

membawa kantung dosa dan pahala


bercerabutlah para ilmuwan menghimpun bukti

sains yang hanya percaya kepada bukti

terkucil iman

ketika sains berlari demikian cepat

dan berpijak pada bukti-bukti empiris

yang hanya berlaku dari proses sebab akibat


ajaran religipun tercabut dari akarnya

tertatih mencari arahnya sendiri

dan

Firman Tuhanpun tinggal legenda

akal pun telah menggantikan fungsi malaekat

serta intuisi yang menggantikan wahyu

betapa ‘kebenaran’ telah kalah oleh ‘pembenaran’

mereka tampil dengan fakta-fakta yang matematis

maka kehidupanpun menjadi nisbi, dalam dimensi

tak tersisa lagi tempat

bagi iman dan taqwa

* * *


TERSESAT DALAM ZAMAN (-3)

dalam Hellenistic yang purba,

Yunani dan Arabbi pernah bersatu dalam filsafat

duniapun berobah warna

dalam perkasa Alexander The Great

tersenyumlah Aristoteles

sang guru pertama


filsafat yang telah berkembang

dalam sains dan religi

meski dengan memadamkan lentera metafisika

yang abstrak

maka bermula hilangnya keseimbangan dalam filsafat


seribu tahun kemudian........

terlahir Muhammad membawa Islam

bagaikan Hellenistic baru yang cemerlang

menentang keagungan Romawi


Bait’l Hikmah telah membawa pembaharuan

dari negri Bulan Sabit Yang Subur

cemerlanglah Al Kindi , Abdul Musa al Jabber,

Al Battani, dan Ibnu Sina

pembawa keseimbangan sains dan religi

tersenyumlah pula

Al Farabbi sang guru kedua


disepotong dunia yang lain

kereta sains telah melaju dengan cepat

tertinggal religi yang tertatih

melenyapkan keseimbangan moral dan akal budi

tiada lagi pedoman yang hakiki

tersesat manusia di dalam semu


logika yang telah dinobat menjadi raja

tercecer iman

dalam nilai-nilai yang irrasional

menggetarkan pilar alam semesta

hingga retak

entah kapan lagi hadirnya sang filusuf

menyalakan kembali Hellenistic baru

dengan meluangkan tempat bagi “iman”

dalam kereta sains yang melaju kencang

* * *


TERSESAT DALAM ZAMAN (-4)

lebih sepuluh abad yang lalu

Rasulullah telah membawa paham kebenaran

namun terkabur aqidah

atas nalar yang dikungkung

oleh ego yang eksklusif


dendam telah mengikis murninya fardhu

berdustakah sejarah yang menjadi panutan?

atas terbunuhnya para Khalifah setelah Rasulullah?

dan bertumbuhnya kelompok yang saling bermusuhan

meski mereka juga mengaku Islam?

sesungguhnya:........... bukanlah ini ajaran Sang Rasul


dari Bait’l Hikmah pernah lahir para ulama Mu’tazillah

ilmuwan yang berbincang tentang filsafat

Al-Kindi yang berjabat tangan dengan Plotinus

atau Abdul Musa al-Kawaritzmi yang membahas al-jabr wa al-muqabala

risalah tentang ‘penyelesaian’

yang sekarang

jadi panutan sains diseluruh dunia


perlukah Sunni dan Syi’ah bertempur di sepanjang masa?

atau agama yang dijadikan kendaraan politik

demi terlegitimasinya kepentingan pribadi dan golongan?


tersesat kita dalam era Jahiliyah Modern

iman yang tiada lagi seimbang dengan ilmu

iman yang terkurung dalam taqliq

dan ilmu yang bertumbuh di kenisbian

demi sains.......... yang berkembang dengan cepat


berulang kita mengucapkan:

ihdina sidratul mustaqiiiim.......

semoga terlihat jalan yang benar

yang menjauhkan dari kesesatan

tertunduklah asa dalam iman

ketika mengakhirinya dengan:........ Amin!!!!!

* * *