Kamis, 12 Agustus 2010

PUISI MODERN

PUISI MODERN MINANGKABAU
(adakah?)


Penulisan puisi di Indonesia dewasa ini telah demikian jauh membawa perobahan. Penyair tidak lagi dikungkung oleh bait, baris, pengulangan bunyi, dsb. Olahan puisi modern Indonesia sudah demikian bebas sehingga terkadang hampir mirip dengan proza, yang hanya dibatas oleh alinea-alinea, namun memiliki kalimat-kalimat dan genre yang puitis. Inilah salah satu kebebasan sastrawan modern dalam berekspresi.


Pada mulanya memang semuanya itu muncul sebagai sebuah eksperimen, sehingga puisi-puisi ini dikategorikan sebagai “Puisi Eksperimental”, hingga pada suatu saat kemudian telah menemukan bentuknya sendiri yang kongkrit hingga sudah tiba pula waktunya untuk mempunyai “code” tersendiri.


Namun penulisan puisi dari Sastra Minangkabau sepertinya tidak banyak mengalami perobahan dari masa-kemasa. Malahan dapat dikatakan bahwa dewasa ini hampir tidak ada penyair yang menulis puisi-puisinya –dengan konotasi modern- dalam bahasa Minangkabau. Kalaupun ada, maka semua itu mereka lakukan hanya sekedar untuk mengisi syair dari sebuah lagu Minang saja. Itupun tak beranjak dari bentuk puisi klasik (pantun, syair, gurindam). Mungkin hanya “tema”nya saja yang berbeda.


Bagaimanapun hal ini patut dijadikan perhatian, karena dalam suatu budaya yang dinamis, akan selalu muncul berbagai bentuk perobahan. Ketiadaan perobahan dalam penulisan puisi Minangkabau ini, seakan memperlihatkan bahwa budaya Minangkabau adalah budaya yang statis (dibidang sastra puisi). Padahal disetiap generasi para penyair di Indonesia ini, senantiasa didominasi oleh para penyair yang berasal dari Minangkabau.


Perkembangan Sastra Indonesia

Jika ditilik secara umum Sastra Indonesia, sudah menjadi mata pelajaran pokok semenjak di sekolah menengah dulu, bahwa dunia sastra Indonesia berkembang dari periode ke periode.

­ Periode sastra Kuno

­ Periode Balai Pustaka

­ Periode Pujangga Baru

­ Periode Angkatan ‘45

­ Periode Modernisasi


Pada masing-masing periode terdapat spesifikasi sendiri-sendiri, yang dipengaruhi oleh situasi, kondisi, dan kultur masarakat waktu itu. Dengan demikian akan terlihat nyata, bahwa tulisan-tulisan sastra merupakan cerminan dari budaya manusia pada suatu kurun waktu (akan dibahas tersendiri hubungan pengaruh mempengaruhi ini, antara sastra dengan kultur). Yang pasti, disetiap periode selalu ada orang-orang yang menjadi pelopor, dan kemudian mengsosialisasikannya ditengah masarakat.


Perkembangan Sastra Minangkabau

Merujuk kepada perkembangan sastra di Indonesia, maka sastra Minangkabau sepertinya tidak banyak terpengaruh oleh perkembangan sastra nasional ini. Sastra Minangkabau tidak mengenal periodisasi itu, dan hanya dapat dibedakan atas:

­ Sastra kuno (klasik)

­ Sastra Modern (yang belum mapan).


Disini kita dapat melihat bahwa selama Periode Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan ’45, sastra Minang seakan tidak bergerak, seolah tertidur sama sekali. Padahal mayoritas pelopor dari setiap angkatan itu adalah orang-orang yang berasal dari Minangkabau. Kemungkinan waktu itu mereka tidak berkiprah dalam sastra Minang, adalah karena adanya keinginan untuk ‘bergerak’ dalam komunitas yang lebih luas, ditingkat nasional (atau pertimbangan komersial?).


Perkembangan sastra Minangkabau klasik, hampir sama dengan daerah-daerah lainnya. Bentuk yang umum ternukil disini antara lain adalah:

­ Mantra-mantra (puisi).

­ Dendang (puisi).

­ Cerita-cerita, legenda, atau dongeng (proza).

­ Kaba (proza yang terkadang dicampur dengan puisi)

­ Pasambahan (Pidato Adat t/d proza dan puisi)


Puisi Minangkabau Klasik

Pada sastra lama yang dapat dikategorikan sebagai Puisi, adalah Mantra dan Dendang, walaupun pada Pasambahan sebenarnya juga didominasi oleh bentuk-bentuk puisi yang dikombinasi dengan narasi yang bukan puisi. Berbagai bentuk itu semuanya tampil sebagai “sastra lisan” (oral) yang disebar luaskan hanya sebagai narasi yang tidak tertulis.


Ditilik dari bentuk-nya, puisi Minangkabau klasik lebih mengacu kepada bentuk: pantun, syair, gurindam, talibun, dll yang hampir kesemuanya itu dapat didendangkan. Malahan dalam melantunkan “kaba” (prosa)pun dilakukan dengan “berdendang”, sehingga sering pula disebut sebagai Prosa Berirama.


Dalam implementasi “dendang” ini, telah pula tampil berbagai bentuk ritual seperti Bagurau (nyanyi yang diiringi saluang), Salawat Dulang, Dendang Pauah, Rabab Pasisie, Randai, Kaba, dll. Sedangkan dalam ritual ‘mantra’ dilakukan salah satunya yang dikenal dengan Bailau, yaitu mantra yang didendangkan untuk menangkap harimau dsb.


Puisi Minangkabau Modern

Pada Sastra Modern Minangkabau, bentuk puisi ini dikatakan tidak banyak berobah, karena masih tetap mengacu kepada bentuk-bentuk lama: pantun dan syair, yang didendangkan. Sedangkan implementasinya umumnya ditampilkan dalam bentuk lagu Minang Modern.


Dalam lagu Minang Modern inilah puisi-puisi itu dinyanyikan dengan iringan musik yang modern pula. Pertanyaannya: apakah syair lagu Minang Modern ini sudah dapat pula dikategorikan sebagai Puisi Minang Modern?


Tercatat nama ORKES GUMARANG (akhir tahun 1950-an) yang merintis menyanyikan puisi-puisi Minang ini dengan iringan musik modern pula.


Irama musik Orkes Gumarang ini lebih mendekati kepada komposisi irama Latin (sering disebut sebagai beat Melayu-Latin oleh para musisi). Dalam dekade inilah lagu-lagu Minang sangat dikenal hampir diseluruh pelosok tanah air. Dalam perkembangannya kemudian, sudah banyak pula yang tampil dalam bentuk irama lain seperti Pop, Keroncong, Dangdut (beat Melayu-India), Rep, Rock, dsb.


Sedangkan bentuk yang tampil murni sebagai sebuah puisi modern (seperti yang dipelopori Chairil Anwar dalam puisi modern Indonesia), tidak pernah ditemukan, sehingga hampir tidak ada pula bentuk modernisasi puisi Minang yang dapat dibicarakan. Yang ada hanyalah perobahan dari bentuk lisan menjadi bentuk tulisan, dan rekaman kaset, CD dan VCD, yang hampir semuanya dalam versi dendang. Namun bentuk dari puisi/ syair nya sendiri masih mengacu kepada bentuk klasik, seperti halnya Bagurau, Dendang Pauah, Rabab Pasisie, dll.


Sebelum munculnya Orkes Gumarang, pada zaman penjajahan Belanda sebetulnya sudah hadir ORKES GAMAD (=gamaik) di Padang Kota dan sekitarnya. Orkes Gamad ini menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Minang dan lebih bernuansa Beat Melayu-Deli. Juga terasa adanya pengaruh Eropah(?) disana sini. Pengaruh ini terlihat dari adanya seruan-seruan (diantara nyanyian) seperti: Balanse madaaaam, .............Orkes ini sudah menggunakan alat musik modern seperti accordeon, biola, gitar, string bass, dan gendang.


Keberadaan Orkes gamad ini masih dapat dinikmati sampai awal tahun 70-an, dimana pada syair lagu-lagu Gamad umumnya berbentuk Pantun, Syair lama, dan Gurindam klasik. Namun karena Gamad sudah menggunakan peralatan musik modern, maka lagu-lagunyapun ada yang mengkategorikan sebagai lagu Minang Modern pula. Hanya saja GAMAD tampaknya lebih mengutamakan seni musik dari pada seni sastra, sehingga syair-syair dari lagu gamad ini banyak yang bercampur aduk antara bahasa Minang dan bahasa Melayu, sehingga kurang tepat jika dikategorikan sebagai Puisi Minangkabau.


Selanjutnya setelah tahun 70-an sudah banyak penyair yang hadir sebagai penulis syair lagu Minang Modern, namun masih belum tampak disini hadirnya PUISI MODERN yang murni untuk dibaca dan dinikmati sebagai puisi itu sendiri.


Penyair Minang Dan Keterbatasan (?)

Yang dimaksudkan disini sebagai Penyair Minang, adalah para penyair yang menelorkan syair (puisi-puisi) dalam bahasa Minangkabau. Ternyata yang muncul hanyalah penyair yang menggubah syair menjadi sebuah lagu, dan tidak tampil sebagai penyair yang murni menggubah sebuah puisi Minang Modern.


Menurut pendapat para ahli (salah satunya Suryadi, alumnus Jurusan Sastra Daerah, Program Studi Bahasa & Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra Universitas Andalas, dosen dan peneliti pada Department of Languages and Cultures of Southeast Asia and Oceania, Leiden University, Belanda), mengatakan bahwa pada sastra modern paling tidak ada dua unsur: genre-genre yang digunakan genre-genre modern, baru; isu-isu atau tema yang digarap juga baru, yang merefleksikan fenomena sosial masa kini (kekinian).


Hal ini sebetulnya sudah terdapat pada syair-syair lagu Minang Modern, akan tetapi “bentuk sebagai puisi modern” masih belum muncul. Syair-syair ini masih dikekang oleh pengulangan kata, jumlah baris dalam satu bait, dsb. Sedangkan dalam puisi modern seharusnya sudah ada bentuk dan penampilan baru seperti yang terlihat misalnya dalam puisi-puisi Chairil Anwar, Sutarji, dsb.


Kalau nama-nama penyair Indonesia yang berasal dari daerah Minangkabau, kita akan mengenal banyak sekali. Semenjak dari Rustam Effendi di Pujangga Baru, Chairil Anwar yang pelopor angkatan ’45, hingga Taufiq Ismail, Hammid Djabar, Rusli Marzuki Saria, dsb pada periode Sastra Modern Indonesia. Tetapi kita tidak menemukan publikasi puisi mereka yang ditulis dalam bahasa Minang.


Dari percakapan maupun wawancara dengan para penyair, umumnya mereka mengatakan merasa terpasung apabila akan menulis syair (puisi) dalam bahasa Minangkabau ini. Mereka merasakan bahwa kosa kata Minang amat terbatas untuk mengekspresikan suatu imajinasinya dalam bentuk puisi.


Sebetulnya hal ini adalah sesuatu yang pula pernah dirasakan oleh Chairil Anwar ketika awal hendak berekspresi dalam bentuk puisi modern Indonesia. Chairil kemudian justru memulainya dengan menyadur beberapa puisi asing, seperti yang dilakukannya pada puisi ANTARA KERAWANG-BEKASI yang terkenal itu. Puisi ini disadur dari judul asli YOUNG DEAD SOLDIER karya Archibalt, atau RUMAHKOE dari WONINGLOOZE karya Slauerhoff, maupun ORANG BERDOEA dari DE GEISCHEIDENEN dari Marsman. Bukan hanya menyadur, Chairil juga memnterjemah dari puisi asing seperti SOME WHERE dengan judul yang sama dari E Du Perron, PPC dengan judul sama dari E Du Perron juga, serta MUSIM GOEGOER dari HERBSTTAG karya R.M Rilke.


Namun kemudian Chairil menemukan bentuknya sendiri, sehingga menelorkan puluhan dan bahkan mungkin ratusan puisi (baik yang sempat diekspose maupun yang tersimpan sebagai dokumen pribadi), yang kesemuanya sudah berbahasa Indonesia (lihat: Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 oleh: HB Yassin). Kesulitan bahasa yang pada awal dirasakan itu, kemudian teratasi setelah terbiasa menulis puisi dalam bahasa Indonesia itu sendiri.


Mungkin hal yang sama lah yang dirasakan oleh para penyair Minang, namun tidak banyak yang mencoba mengatasinya dengan mencoba dan mencoba lagi menulis dalam bahasa Minangkabau ini. Umumnya mereka berhenti bereksperimen, setelah gagal dalam beberapa percobaan.


Kekuatan Bahasa Minangkabau

Jika diamati dengan seksama tentang kosa kata bahasa Minangkabau, kita akan menemukan demikian banyak kosa kata yang amat puitis, terutama dari bahasa-bahasa yang sudah kuno dan sudah jarang terdengar ‘dibahasakan’ dewasa ini. Misalnya kata-kata: birauari, lingguyuran, labuah nan golong, sawah nan jo lantaknyo, alue nan patuik, gadiang baliriak, barih balabek, tabang mangirok, panjang nan bakaratan, puncak linggapuri, jariah nan tasengga, tingaran jaleh,........... dlsb. Nama-nama daerahpun di Minangkabau banyak yang sangat puitis, seperti nama nagari: Mandi Angin, Ambun Pagi, Ulak Karang, Tanjuang Bungo, Lubuak Aluang, Sari Lamak, Lambah Ba(a)wan, Cubadaklilin, Pintu Rayo, dsb.


Apalagi jika disimak kata-kata yang disampaikan dalam pasambahan, banyak sekali kata-kata puitis, namun sudah dilupakan orang dewasa ini, karena kosa kata itu sudah jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Hanya para pemangku adatlah yang masih banyak mengenal dan mengetahui berbagai kosa kata kuno itu. Sayang mereka bukanlah “penyair” yang mampu mengeksploitasi berbagai kata itu, sehingga akirnya tidak banyak lagi orang yang masih mengenalnya, sedangkan para pemangku adat seakan terikat dan tidak berani untuk berimprovisasi. Mereka secara turun temurun hanya akan menghapalkan kata-kata pasambahan yang pernah mereka pelajari.


Dalam menulis puisi berbahasa Minang, maka mau tidak mau selain dari kosa kata, kita akan sangat dipengaruhi pula oleh kultur dan budaya Minangkabau yang jarang mau berkata dengan terus terang. Umumnya “perasaan” akan disampaikan dalam bentuk kias atau perumpamaan (metafora) yang diungkap sebagai: kok kato baumpamo, kok rundiang bamisalan. Malahan ada rasa sungkan untuk menulis nama sendiri sebagai penulis atau pencipta.


Barangkali disinilah terlihatnya keterbatasan dan kurang bebasnya seorang penyair dalam berekspresi. Namun barangkali pula justru disinilah akan dapat ditemukan kekuatan dan suatu bentuk yang “khas” dalam sebuah puisi Minang Modern itu.


Dalam salah satu tulisannya “Buya AMA” (tanggapan terhadap tulisan Suryadi: SEDIKIT TENTANG ESTETIKA PANTUN MINANG di RantauNet-Maret 2009) menyatakan sbb:

"Suatu hal sangat menarik adalah bahawa di dalam estetika Pantun Minangkabau yang adalah hasil kesusastraan Minangkabau lama itu bersifat anonim. Malu dan merasa keberatan untuk disebut nama penciptanya. Karena itu dalam pidato adat selalu dikatakan "bak pituah urang tuo-tuo, bak pantun urang dahulu" (bagai petuah orang tua-tua, bagai pantun orang dahulu), dan sebagainya.


Dengan kosa kata yang di pengaruhi oleh kultur dan budaya ini, justru “harus dapat” dimunculkan suatu bentuk khas, yang mengacu sebagai proses modernisasi. Hal ini hanya akan dapat ditemukan apabila para penyair mencoba dan mencoba lagi sebagai suatu eksperimen yang berkelanjutan. Perlu berbagai diskusi untuk dapat merealisasikan nya, serta adanya faktor idealisme diatas faktor komersial nya. Bagaimanapun budaya sastra terutama dalam bentuk puisi adalah suatu budaya sastra yang dinamis.


-oOo-